11 November 2006

INI SEMUA KULAKUKAN UNTUKMU

Nikolaus Ludwig ZinzendorfBEBERAPA RATUS TAHUN YANG LALU, LAHIR SEBUAH KISAH INDAH DI KOTA DUSSELDORF, JERMAN. KISAH INI MASIH BELUM BERAKHIR SAMPAI KINI, TERUS BERLANJUT DARI MASA KE MASA . . .


Ini adalah Nikolaus Ludwig Zinzendorf (1700 – 1760). Seorang Imperial Count (bangsawan Jerman). Ia mendirikan gereja Moravia yang legendaris. Kisah pencerahan kehidupannya dituturkan oleh Gladys Mary Talbot. Ikutilah kisah indah yang terus berlangsung sampai akhir jaman ini.

Suatu hari seorang rahib mendaki tangga sebuah bangunan tua di Dusseldorf, Jerman. Ia mengetuk pintunya.

Itu adalah studio lukis milik Stenburg, seorang pelukis kenamaan saat itu.

Ia berkata kepada Stenburg,”Mungkin anda sudah dengar bahwa kami sedang memugar gereja St Jerome? Kami minta bantuan anda untuk membuat lukisan yang akan dipasang di altar.” Stenburg terdiam sejenak untuk berpikir. Ia lalu berkata,”Baiklah bapa, saya akan membuatnya. Saya rasa lukisan tentang penyaliban adalah yang paling pantas untuk dipasang di altar. Melukiskan ini tidak mudah, tapi saya akan berusaha asalkan bapa memberi saya cukup waktu.” Keduanya sepakat, dan rahib itu menuruni tangga studio lukis itu dengan riang.

Sejak itu mulailah Stenburg berkelana di daerah Yahudi di Dusseldorf untuk mencari orang yang cocok dijadikan model lukisan. Tangannya yang trampil mulai menari-nari menggoreskan kuas di atas kanvas. Pelan-pelan mulai terlihatlah sebuah lukisan yang mengagumkan. Rahib yang dari waktu ke waktu datang untuk meninjau perkembangan ini selalu memuji-mujinya.

Bulan demi bulan sudah berlalu. Musim semi telah tiba. Gunung dan lembah mulai menghijau, bunga-bunga di padang mulai merekah. Tercium bau harum segar dari pohon-pohon yang berbuah. Jiwa seni Stenburg mulai bergolak melihat keindahan musim semi ini. Ia tinggalkan dulu pekerjaan lukisnya. Dengan mengempit sebuah buku sketsa, ia berkelana mengarungi lembah dan bukit.

Suatu hari, di tepi sebuah hutan, ia menjumpai seorang gadis gypsy yang sedang menganyam keranjang. Ia masih remaja. Gaun merahnya yang hampir luntur tidak bisa mengurangi kecantikannya. Hati Stenburg bergetar,”Gadis ini akan jadi model lukisan yang sempurna.”


Gadis kecil itu menyadari kehadiran Stenburg. Ia berhenti menganyam. Diletakkannya pekerjaannya. Dengan mata bersinar ia berdiri, melompat, dan menarikan tarian khas gypsy. Stenburg tersentak. Dengan cepat ia membuka buku sketsa dan mulai membuat sketsa gadis menari. Ia berteriak,”Berdirilah diam sebagaimana adamu sekarang. Aku mau melukismu. Jangan bergerak sampai kukatakan engkau boleh bergerak!” Gadis ini mengerti maksud Stenburg. Seketika itu juga ia diam, berdiri dalam suatu pose yang indah. Stenburg berkata pada dirinya,”Anak ini merupakan model yang wajar. Aku akan melukisnya sebagai gadis penari Spanyol.”


Selesai membuat sketsa, Stenburg mengadakan kesepakatan. Gadis itu harus datang beberapa kali ke studio lukis Stenburg sampai lukisan itu dapat diselesaikan. Stenburg akan memberi bayaran kepada gadis itu.


Pada hari yang sudah ditentukan, gadis itu datang ke studio Stenburg. Sambil berpose di depan Stenburg untuk dilukis, gadis itu menjelajahkan matanya melihat-lihat isi seluruh studio dari ujung ke ujung. Tiba-tiba matanya terhenti pada lukisan penyaliban yang saat itu sudah hampir selesai. Sementara mengamati dengan penasaran, ia bertanya dengan suara tersendat sambil menunjukkan jarinya,”Siapa orang itu?”. Stenburg menjawab dengan cuek,”Yesus”.


Ia sedang diapakan?”


Disalib”


Siapa orang-orang di sekitarnya yang kelihatannya kejam-kejam?”


Stenburg menjadi jengkel,”Buat apa kamu tanya-tanya? Bagaimana aku bisa konsentrasi melukis dirimu kalau aku terus menerus harus menjawab pertanyaanmu?”


Anak itu tidak berani lagi bertanya lagi. Tetapi kesan lukisan itu terukir dalam di hatinya.


Esoknya gadis itu datang lebih pagi, sebelum Stenburg tiba di studionya. Ia berdiri terpaku mengamat lukisan penyaliban itu. Demikianlah yang dilakukannya setiap hari. Ia selalu mencari kesempatan menatap lukisan itu. Suatu hari Stenburg sedang enak hati. Ia kelihatan gembira dan ramah. Inilah kesempatan baik untuk bertanya. Selagi dilukis, gadis itu bertanya,”Pak kenapa Yesus disalib, apakah ia jahat?” Stenburg menjawab,”Tidak, Ia orang baik”. Gadis gypsy ini makin penasaran, ia tidak dapat menahan diri,”Kalau ia baik, kenapa dibunuh?”


Dengan kesal, Stenburg meletakkan kuasnya,”Sini, duduklah di sini. Aku akan menceritakan sekali saja, tapi engkau harus berjanji untuk tidak bertanya-tanya lagi, setuju?” Anak gadis itu mengangguk. Mulailah Stenburg menceritakan kisah yang tidak pernah usang, suatu cerita yang yang selalu diceritakan setiap hari di muka bumi dari masa ke masa sampai dunia berakhir yaitu “Kisah Salib di Golgota”. Gadis ini belum pernah mendengar kisah ini. Didengarkannya setiap penuturan Stenburg dengan menahan napas berulangkali. Matanya berkaca-kaca dengan air mata yang belum menetes.


Akhirnya selesailah lukisan gadis penari Spanyol. Inilah hari terakhir bagi gadis itu untuk datang ke studio. Dengan pilu, ia mengucapkan selamat tinggal kepada lukisan penyaliban yang dicintainya itu. Saat Stenburg menjejalkan segulung uang ke dalam tangannya, gadis itu memandang Stenburg dengan sayu. Dengan bibir gemetar ia berkata,”Selamat tinggal, pak. Bapak tentu mengasihi Yesus lebih dari apapun di dunia ini, untuk apa yang telah Ia lakukan bagi bapak”. Stenburg tersentak. Perkataan gadis itu bagaikan pisau yang merobek topeng kemunafikannya. Ia menjadi malu dan gelisah. Saat itulah ia sadar bahwa selama ini ia kehidupan kekristenannya hanyalah kepura-puraan belaka.


Hari demi hari berlalu. Waktu terus berjalan. Stenburg tidak bisa melupakan kata-kata gadis itu,”Bapak tentu mengasihi Yesus lebih dari apapun di dunia ini, untuk apa yang telah Ia lakukan bagi bapak”. Betapapun ia menyibukkan diri, ia tidak dapat melupakan peristiwa itu. Kata-kata itu terus terngiang dan bergema di telinganya. Stenburg menjadi lega setelah lukisan penyaliban itu selesai dan dibawa ke altar gereja St Jerome. Tetapi selang beberapa waktu, hatinya menjadi gelisah kembali. Ia kehilangan gairah dan kesenangan hidup. Ia merasa memerlukan sesuatu tetapi ia tidak tahu apakah itu.


Suatu hari Stenburg menghadiri kebaktian kebangunan rohani yang diadakan sebuah gereja kecil di pinggir Dusseldorf. Pikirnya, mungkin di sana ia bisa menemukan kedamaian hati. Dalam kebaktian ini Stenburg menyerahkan hati kepada Yesus. Ia dilahirkan kembali. Selama ini ia hanya Kristen agamawi saja, belum pernah mengalami perjumpaan pribadi dengan Yesus. Seketika itu juga damai sejahtera surgawi yang belum pernah dialaminya memenuhi hatinya. Gelisah dan kecemasannya lenyap. Sesuatu masuk ke dalam hatinya. Apa itu? Kasih. Kini ia baru mengerti apa artinya mengasihi Yesus. ”Bapak tentu mengasihi Yesus lebih dari apapun di dunia ini, untuk apa yang telah Ia lakukan bagi bapak”


Kehidupan Stenburg mulai bersinar dan aktif kembali. Ia berpikir, kasih harus ada wujudnya. Tapi apa yang dapat dilakukannya? Ia tidak fasih bicara, ia tidak bisa kotbah. Ia berdoa dan minta agar Tuhan menunjukkan apa yang harus dilakukannya. Suatu hari terlintaslah gagasan di benaknya,”Aku tidak bisa menunjukkan kasihku kepada Yesus melalui pelayanan kotbah dan bersaksi melalui ucapan, tapi dengan pertolonganNya aku bisa bersaksi tentang kasihNya melalui lukisan.” Wajah Yesus yang disalib yang telah dilukisnya untuk gereja St Jerome adalah wajah yang penuh derita, tetapi wajah yang akan dilukisnya kini adalah wajah yang penuh kasih.


Inspirasi dan kasih bergelora di dalam Stenburg, membakar keahlian yang memang sudah dimilikinya menjadi seratus kali lebih hebat. Lukisan itu hanya menggambarkan kepala dan bahu Yesus, dengan mahkota duri di kepalaNya. Sangat indah, agung, dan hidup. Yang memukau setiap orang yang melihatnya adalah sinar mata Yesus. Penuh kasih dan belas kasihan. Seolah-olah mustahil ada tangan manusia bisa menghasilkan karya yang begitu hidup dan agung. Di bawah lukisan itu Stenburg menggantungkan tulisan,”INI SEMUA KULAKUKAN UNTUKMU. APA YANG KAU LAKUKAN UNTUKKU?” Stenburg menyumbangkan lukisan itu ke balai seni lukis milik pemerintah kota Dusseldorf.


Tidak terhitung berapa ribu orang yang mengunjungi balai seni lukis Dusseldorf yang berdiri memandang lukisan itu sambil meneteskan air mata. Stenburg sering melihat dari kejauhan bagaimana orang-orang yang memandang lukisannya itu sambil ia berdoa agar Tuhan menjamah mereka dengan kasihNya.


Suatu hari ketika Stenburg ada di situ, ia melihat seorang gadis masuk ke balai seni lukis itu. Gadis itu berdiri terpaku di depan lukisan penyaliban itu sambil menangis. Stenburg menghampiri gadis itu. Setelah ia menoleh, barulah Stenburg mengenalinya sebagai gadis gypsy yang pernah dilukisnya. Dengan berlinangan air mata dan bibir gemetar, gadis itu berkata kepada Stenburg,”Saya sering datang ke sini untuk melihat Dia. Oh, kalau saja Dia mencintai saya, sedangkan saya ini seorang gypsy.”


Dengan lembut dan rendah hati Stenburg meminta maaf,”O, maafkan saya! Maafkan saya kalau saya belum pernah memberitahu kepadamu”. Stenburg menceritakan bahwa Yesus mengorbankan diriNya untuk semua orang. Dengan mata terheran-heran, gadis gypsy itu sekali lagi mendengarkan “Kisah tentang Salib” yang jangkauannya tidak mengenal batas suku, bangsa, tempat, dan waktu. Di balai seni lukis Dusseldorf itulah, gadis gypsy ini menyerahkan hatinya kepada Sang Juru Selamat.


Tahun berganti tahun, semakin banyak jumlah orang-orang yang menemukan Yesus melalui lukisan Stenburg. Suatu hari ada seorang bangsawan muda memasuki balai seni lukis itu. Ia bergelar Imperial Count. Ia adalah Nikolaus Ludwig Zinzendorf. Ia berdiri di depan lukisan itu dan menangis terisak-isak. Lukisan penyaliban dan kata-kata yang terpasang di bawahnya menggetarkan lubuk hatinya. ”INI SEMUA KULAKUKAN UNTUKMU. APA YANG KAU LAKUKAN UNTUKKU?” Sejak kecil ia sudah beragama Kristen, tapi baru kali ini ia menyadari betapa besar Yesus mengasihinya. Ia menyerahkan seluruh hidup dan kekayaannya untuk membalas kasih Yesus. Ia mendirikan misi gereja Moravia yang amat legendaris.


Lukisan Stenburg ini sudah tidak ada lagi, ikut hangus terbakar saat balai seni lukis milik pemerintah kota Dusseldorf terbakar. Tapi kisahnya tidak berhenti di sini. Pengaruh dari lukisan itu hidup untuk selamanya. ”INI SEMUA KULAKUKAN UNTUKMU. APA YANG KAU LAKUKAN UNTUKKU?”


==> Mikhael YK – www.kebenaran1.blogspot.com <==

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home

EDITORIAL

Website ini diterbitkan oleh Indonesian Compassion Ministry. Hak Cipta website ini ada pada kami. Sebab itu segala usaha menyalin seluruh atau sebagian dari artikel-artikel yang ada harus meminta ijin tertulis dari kami terlebih dahulu DAN harus mencantumkan URL website ini
 

DAFTAR ARTIKEL

About This Site

Powered by Blogger

Subscribe to
Posts [Atom]